Rekonsiliasi Sunyi Perdamaian Aceh

•October 31, 2019 • Leave a Comment

Teuku Kemal Fasya

Kompas, 29 Oktober 2019

TKF FGD2

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melaksanakan kegiatan Rapat Dengarkan Kesaksian  atau RDK di gedung DPRK Aceh Utara, 16-17 Juli 2019.

 

Kegiatan ini kedua kali dilaksanakan KKR Aceh pasca-pembentukannya pada 2016 berdasarkan Qanun No. 17/2013. Penulis sendiri diminta sebagai saksi ahli dalam mendengarkan kesaksian korban pelanggaran HAM yang secara keseluruhan terbagi dua fase. Pertama, pelanggaran HAM pada saat diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998, dan kedua pada masa pasca-reformasi atau jatuhnya Soeharto hingga menjelang perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005.

 

Ada 16 orang yang menjadi saksi/korban yang menceritakan pengalaman traumatik yang mereka alami. Ada kisah tentang orang yang langsung jatuh miskin ketika rumah dan pertokoannya dibakar aparat keamanan yang tak berhasil menangkap kelompok GAM yang menembak rekan mereka. Ada kisah seorang ibu yang anak perempuannya mati ditembak aparat keamanan karena karena menjalankan fungsi sebagai relawan medis. Pelaku pembunuhan diketahui karena salah seorang rekannya berhasil melarikan diri dan selamat hingga kini.

 

Ada kisah seorang anak yang mengalami kesedihan beruntun. Pertama pada satu hari di bulan puasa 1999 ia menghadapi kenyataan ayahnya dibunuh oleh “kelompok gerilyawan”. Mayatnya dimasukkan ke dalam karung dengan alat kelamin terpotong dan tulisan “ini penghianat bangsa”. Pada 2003 ia kembali berduka, ibunya ditembak di kepala. Ceritanya sang ibu tak sanggup lagi memenuhi permintaan “pajak nanggroe” oleh GAM. Ada kisah seorang bapak yang disiksa, disundut alat kelaminnya dengan puntung rokok hingga mengalami impotensi. Ia dituduh menyimpan senjata, padahal seumur hidup tak pernah memegang senjata.

 

Melampaui kengerian

Kisah-kisah memilukan itu berhasil diceritakan oleh para saksi/korban dengan segala ekspresi. Ada yang bercerita sambil terburai tangis. Ada yang bisa tetap tenang mengisahkan sambil menekan rasa sakit. Ada yang terbata-bata. Meskipun demikian, mereka memiliki keberanian besar untuk menceritakan kisah kelam masa lalu itu dengan pasti.

 

Keberanian yang besar itu berbanding terbalik dengan “kehati-hatian” penyelenggara kegiatan. Berkali-kali panitia membuat disclaimer bahwa kegiatan itu tidak boleh direkam dan segala hal beresiko hukum terkait publikasi menjadi tanggung-jawab pribadi. Penulis memiliki fasilitas untuk mengakses catatan kronologi karena menjadi saksi ahli dalam kegiatan RDK itu. Tanpa publikasi dan diseminasi wacana, momentum RDK ini akan punah menjadi arsip berdebu. Tidak akan membekas sebagai momentum kebenaran bagi publik.

 

Secara lebih luas, penulis merasakan masih banyak ketakutan yang bersarang dimana-mana. Entah itu pada diri komisioner KKR, pemerintah lokal dan nasional, aparat keamanan, dan secara luas negara ini sendiri. Tindakan meredam publikasi dalam konteks perdamaian Aceh yang telah berumur 14 tahun bukan upaya konstruktif untuk melangkah lebih maju membangun perdamaian yang lestari (sustainable peace).

 

Padahal, setelah melewati tahun-tahun yang penuh bahaya dan ketakutan, inilah momentum yang baik untuk menepis krisis kultural itu dengan sikap intelektual dan politik yang jelas. Masa lalu yang kelam itu akan tetap membelah masyarakat dengan persepsi yang rancu tentang keadilan jika tidak ada perjuangan untuk mengakui derita yang diterima korban konflik (Gérard Bouchard and Charles Taylor, Building the Future: A Time for Reconciliation, 2008).

 

Jika direfleksikan lebih lanjut tentang kelemahan perdamaian Aceh, maka terlihat bahwa masih belum jelasnya agenda rekonsiliasi dalam pembangunan Aceh karena masih adanya misi pragmatis elite politik pascakonflik yang berwawasan sempit. Akhirnya dimunculkan mitos (maop) bahwa membicarakan tentang kepentingan korban konflik akan menggoyang bangunan perdamaian. Padahal mendiamkan masalah itu akan menyebabkan agenda rekonsiliasi menjadi macet dan perdamaian menjadi semu (Scott Kirsch and Colin Flint. “Salient versus Silent Disasters in Post-conflict Aceh, Indonesia” in Reconstructing Conflict, 2016).

 

Politik keterlupaan

Yang paling buruk dari sejarah rekonsiliasi pascakonflik ialah ketika agenda perdamaian mengarah pada politik keterlupaan  –menyisir konsep Mahmoud Darwish, dalam novelnya Memory for Forgetfulness (1995) tentang pembantaian di Sabra dan Shatilla, Lebanon.

 

Politik keterlupaan ialah upaya kekuatan politik untuk mengaburkan momen kejahatan masa lalu untuk kepentingan impunitas. Melakukan politik keterlupaan apalagi memaksakan melupakan akan menginduksi lingkaran kejahatan baru. Setiap orang di masa sekarang – terlebih lagi bagi korban – berhak mengetahui sebenarnya apa yang menimpa mereka. Politik rekonsiliasi sesungguhnya membuka mata keadilan atas kejadian masa lalu untuk menjawab masa depannya.

 

Prinsip rekonsiliasi mensyaratkan upaya mengingat dibandingkan melupakan, mengharapkan adanya permaafan karena sikap tulus pelaku demi menghindari penghukuman. Mekanismenya disesuaikan berdasarkan pengalaman sejarah, karakter sosial-budaya, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Tidak ada teori mutlak rekonsiliasi untuk semua pengalaman kejahatan masa lalu.

 

Dalam UU Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006 prinsip itu dijalankan oleh secara institusional melalui KKR Aceh yang merupakan bagian dari KKR pusat dan  dapat diselesaikan dengan pendekatan adat (pasal 229 ayat (2) dan (4)). Namun keduanya akhirnya memiliki kendala prinsipil. Pertama, KKR Aceh tidak memiliki cangkang yang bisa menyelaputi legalitas UU KKR karena telah dibatalkannya undang-undang tersebut (UU No. 27 tahun 2004) oleh putusan MK No. 6/PUU-IV/2006.

 

Kedua, penggunaan mekanisme adat atau kearifan lokal selama ini cenderung menjadi instrumentalis yang mengabaikan kepentingan pemenuhan hak-hak keadilan normatif dan retributif korban. Pendekatan adat dan tradisi dapat digunakan jika diperlukan. Prinsip kearifan lokal ini pernah dipraktikkan di dunia dalam menyelesaikan masalah kejahatan kemanusiaan yang bersifat massif seperti di Timor Leste dan Rwanda.

 

Di Aceh mekanismenya dikenal dengan duek pakat dan peusijuek. Kedua mekanisme ini pernah dilaksanakan ketika melakukan program reintegrasi sosial eks tapol-napol Aceh pada awal perdamaian Helsinki. Prinsip itu sesungguhnya bisa juga dipraktikkan kepada korban konflik untuk “mendinginkan hati dan pikiran”, menutup perselisihan, dan mengembalikan semangat hidup (peubeudoh seumangat). Namun mekanisme ini tidak untuk memberangus prinsip keadilan jika para korban dan keluarganya melihat ada bercak negatif pada proses itu (Leena Avonius in Birgit Bräuchler, Reconciling Indonesia : Grassroot Agency for Peace, 2009 : 127).

 

Semua proses itu akan sia-sia jika para pemegang kebijakan, baik di Aceh atau Jakarta, tidak memiki kehendak politik yang kuat. Selama ini penulis mendengar keluhan komisioner KKR Aceh karena pemerintah lokal tidak kunjung menyediakan fasilitas dan anggaran yang cukup untuk menjalankan proyek rekonsiliasi secara otentik. Mereka menganggap agenda ini menjadi tangung-jawab pemerintah pusat. Pandangan yang sama juga ditunjukkan di tingkat parlemen Aceh yang nota bene masih dikuasai kekuatan politik lokal. Agenda keadilan transisional ini menurut mereka seperti pisau bermata dua, bisa melibas pihak mana pun yang punya dosa masa lalu.

 

Alhasil, proyek rekonsiliasi Aceh masih bermakna ambigu. Nasib berbeda antara korban dan pelaku. Satu bisa tertawa, yang lain masih termangu.

 

Teuku Kemal Fasya. Dosen FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Dewan pakar Nahdlatul Ulama Aceh.

Kolonialisme UU ITE dan Ironi Perguruan Tinggi

•October 7, 2019 • Leave a Comment

Teuku Kemal Fasya

kompas.com, 20 September 2019

UU ITE

 

Cukup tepat rasanya publik Indonesia tahun ini disuguhi film adaptasi sebuah novel Bumi Manusia karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

 

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu mengisahkan kehidupan sebuah keluarga elite Belanda di Wonokromo, Surabaya, pada era kolonial, ketika komunitas masyarakat Hindia Belanda dibentuk berdasarkan stratifikasi sosial. Yang tertinggi setelah kaum kulit putih ialah kaum ningrat dan terpelajar. Stratifikasi sosial itu menjalar luas ke dalam banyak bentuk: kehidupan politik, prinsip ekonomi, sistem perdagangan, dan juga dunia peradilan.

 

Tidak cukup ruang untuk menceritakan film ini seluruhnya. Saya  hanya mengapit satu scene, ketika terjadi kasus kematian seorang kulit putih, Herman Mellema yang kemudian dihubungkan dengan kehilangan hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap anaknya sendiri, Annelies. Pengadilan Surabaya dan Pengadilan Amsterdam bersepakat untuk meminggirkan hak asuh sang ibu setelah ia berhasil melepaskan diri dari jerat kasus pembunuhan. Peradilan berjalan sangat buruk, memenangkan kepentingan “sang penjajah”, dan membunuh nilai-nilai kebenaran, otentisitas, dan keadilan.

 

Minke, pribumi Jawa, suami Annelies, yang awalnya merasa bangga dengan pendidikan Belanda menjadi muak dengan peradaban tinggi Eropa yang ternyata penuh kepalsuan dan diskriminasi. “Tidak bisa mereka tidak melihat Pribumi tidak penyek, terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih. Lahir sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita harus melawan di pengadilan dengan segala daya dan dana,” ungkap Nyai Ontosoroh kepada menantunya, Minke (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1981).

 

Ironi hukum

Tulisan ini hadir bukan untuk membicarakan ironi masa lalu, tapi di dunia kontemporer, di era pascakolonial, tepatnya di Aceh. Seorang dosen perguruan tinggi negeri, harus menjadi tersangka tepat pada perayaan Hari Pendidikan Daerah Aceh, 2 September lalu. Ironisme itu semakin menebal laksana air bah lepas dari topan. Ia dianggap melakukan tindak pidana pencemaran nama baik atas institusi pendidikannya sendiri. Ia dituntut dengan pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Semakin ironis karena yang melaporkan ialah koleganya sendiri, sesama dosen.

 

Ironi pertama, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi di dunia perguruan tinggi? Bagamaina bisa kritik pada pimpinan dan institusi kampus harus menjadi aksi kriminal? Sang dosen hanya melemparkan protes atas seleksi CPNS yang menurutnya tidak dilakukan dengan penuh kepatutan dan profesional. Protes itu hanya muncul di dalam grup whatsapp dosen, terbatas, dalam bahasa yang “sangat normal”.

 

Dengan perkembangan teknologi informasi, orang bisa menikmati komunikasi di media sosial dengan mudah. Dunia sosial menjadi ruang penuh apresiasi dan kritik yang harus dimaknai dengan bijak. Penulis pernah membaca komentar di media sosial yang lebih buruk, berkali-kali lipat lebih hitam, dengan ancaman dan cacian, dan penuh frasa merendahkan. Namun tidak ada satu pun harus naik menjadi problem hukum.

 

Anehnya di dunia pendidikan tinggi, parole serupa punktuasi kopi tanpa gula itu malah membuat sang kolega menjadi mudah tersinggung bak tersengat lebah. Bukankah dunia kampus adalah tempat paling ideal untuk melakukan kritik, self-criticism, dan bersikap rasional dan dewasa tanpa perlu cepat-cepat marah, tersinggung, dan terhina? Dunia kampus adalah tempat hidupnya rasionalitas dan kempisnya emosionalitas.

 

Kampus bukan tempat bagi tersemainya tradisi feodalisme layaknya ningrat mempekerjakan para kuli; terus bekerja tanpa bertanya. Mengutip kata bijak mantan perdana menteri Inggris, Benjamin Disraeli (21 Desember 1804 – 19 April 1881), “universitas seharusnya menjadi tempat penuh kemilau cahaya, kebebasan, dan pembelajaran”.

 

Ironi kedua, instrumen hukum yang menjerat. UU ITE telah melahirkan ironi tersendiri di tengah dunia yang semakin demokratis dan digitalistik. Padahal jika dilihat sejarah hadirnya undang-undang ITE adalah merespons perubahan kehidupan publik terkait semakin eksisnya kejahatan dunia maya seperti pornografi, perjudian, pemerasan digital, kabar bohong, ancaman kekerasan dan menakut-takuti, akses komputer tanpa izin (cracking), penyadapan, pembukaan informasi rahasia, hingga pemalsuan dokumen (phising). Namun sayangnya UU ITE menjadi gurita yang melilit kritisisme sipil dengan pasal Hatzaai Artikelen. Kritik dianggap “mencemarkan nama baik” penguasa. Sayangnya kini yang disebut dengan penguasa adalah pimpinan perguruan tinggi.

 

Di kampus Saya sendiri pernah muncul kasus kriminalisasi atas dasar UU ITE, ketika seorang mahasiswa yang curhat di media sosial tidak bisa ikut yudisium ditersangkakan setelah sang dosen yang disentil tersinggung. Saya  mencoba memediasi agar masalah itu tidak masuk ke ranah hukum, tapi gagal.

 

Akhirnya ketika kasus ini masuk ke pengadilan, Saya bersedia menjadi saksi ahli bahasa untuk meringankan sang mahasiswa. Putusan pengadilan negeri akhirnya membebaskan mahasiswa dari segala tuduhan. Namun “korban” masih penasaran dan membawa hingga proses banding. Putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan hukuman percobaan setelah melewati waktu yang lama lebih setahun. Apa yang didapatkan? Arang habis besi binasa. Dunia kampus malah menjadi tercemar.

 

Ironi pendidikan tinggi

Pada titik ini baik juga menimbang konstruksi kelembagaan pendidikan tinggi, bahwa kehadiran struktur pengelola dan pimpinan di dunia pendidikan tinggi ialah menegakkan tujuan utama pendidikan, yaitu mengajar dan mengembangkan inovasi, kreativitas, dan sikap ilmiah. Pendidikan tinggi seperti model pendidikan ajar pada umumnya, tetap mengedepankan adab ilmiah dan rasionalitas dalam proses pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tak ada yang lebih utama kecuali mengajar.

 

Menjabat hanyalah tugas tambahan. Jadi bukan berarti ketika menjadi rektor, dekan, dan pimpinan di perguruan tinggi posisinya menjadi setengah dewa atau penguasa. Fungsi eksistensialnya tetaplah dosen sebagai transformator pengetahuan dan moral. Fungsi itu tidak lebih kecil dibandingkan pejabat struktural. Hubungan antara sang pelaksana struktur (the governor) dan dosen yang diatur (the governed) adalah emansipatif, dialogis, dan kekerabatan, bukan hirarkis, dominatif, dan feodal.

 

Problem saat ini, pola kepemimpinan kampus telah bergeser ke arah pengelolaan massa-politik seperti yang dipraktikkan pada pejabat publik dan politikus. Akibatnya nilai-nilai kepemimpinan hilang. Yang tertinggal hanya kecakapan teknis – atau menjadi teknisi proyek – tanpa nilai etik kepemimpinan (Partha Chatterjee, Politic of the Governed: Reflections on Most Popular  Politics in Most of the World, 2004). Pimpinan perguruan tinggi menjadi berjarak, layaknya manejer atau mandor yang menggunakan instruksi hirarkisnya untuk menekan dan membuat kebijakan direktif, bukan deliberatif.

 

Saatnya nilai-nilai kepemimpinan di kampus harus kembali dihidupkan. Tak perlu tipis telinga ketika mendapatkan kritik. Kritik adalah bagian yang menyehatkan pikiran. Jika tak siap dikritik, jangan jadi pimpinan. Meskipun kita boleh berharap kualitas kritik harus terus dikembangkan, tidak menyerang pribadi atau merendahkan kemanusiaan (ad hominem). Namun tanpa ruang yang cukup, budaya kritik tak akan bisa mekar dan produktif di perguruan tinggi.

 

Yang harus diupayakan dengan segenap kewaspadaan ialah perguruan tinggi harus bisa menjadi centre of excellence, bukan huma bagi kolonialisme dan despotisme. Jangan lagi ada kriminalisasi dosen atau mahasiswa oleh institusi kampusnya sendiri. Jangan lagi ada kolonialisme hukum nir-keadilan yang menggunakan UU ITE di sembarang tempat yang tujuannya malah membungkam ekspresi dan kebebasan berpikir. Insan kampus harus terdidik, bersikap adil, dan manusiawi bahkan sejak dalam pikiran.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Elegi Pengelolaan Lingkungan Aceh

•September 12, 2019 • Leave a Comment

Teuku Kemal Fasya

Pangkalpinang

Serambi Indonesia, 11 September 2019

Kesempatan perjalanan dinas ke Bali selalu memberikan kesan yang mendalam. Sangat tepat jika Bali disebut sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Hal ini bukan semata pada aspek infrastruktur ekonominya, tapi juga pada aspek lainnya seperti keramah-tamahan masyarakat, eksotika budaya dan tradisi, dan juga pengelolaan lingkungan hidup. Di Bali sangat jamak ditemukan pohon kota yang menjulur dan menutupi ruas jalan sehingga publik terlindung dari terik matahari.

 

Jalan-jalan protokol di Bali dipenuhi pohon besar, menandakan adanya perawatan secara terus menerus. Salah satu tempat yang  paling mengesankan adalah Lapangan Puputan Nitimandala Renon, Denpasar, yang menjadi alun-alun utama Bali. Ia menjadi landmark kota yang selalu dikenang oleh wisatawan manapun yang pernah mengunjunginya. Bali sendiri dikenal memiliki banyak ruang terbuka hijau (RTH) dan juga menjadi tempat rekreasi murah-meriah bagi warga Bali dan wisatawan.

 

Penulis sendiri telah dua kesempatan selalu menyempatkan diri berolahraga di Lapangan Puputan Renon. Luas lapangan yang juga dikenang sebagai tepat bersejarah dalam perlawanan masyarakat Bali atas kolonialisme Belanda hampir dua kali Lapangan Blangpadang, Banda Aceh. Bedanya, Lapangan Puputan banyak ditumbuhi aneka pohon besar yang membuat udara segar selalu menyergap.

 

Selain Monumen Bajra Sandhi, tidak ada bangunan lain yang dibuat di lapangan yang memiliki empat buah trek jogging. Setiap trek selalu ditawan dengan jajaran pohon-pohon dan di setiap sudut terdapat pohon beringin besar. Pohon beringin menjadi tempat meletakkan canang, semacam sesajen untuk memohon keberkatan. Ada konsep spiritualitas dalam keyakinan Bali bahwa pohon menjadi tempat sakral, yang tak boleh seenaknya dipotong dan dicacah.

 

Kontradiksi di Serambi Mekkah

Berbeda dengan Aceh, pengelolaan lingkungan di Serambi Mekkah semakin hari semakin ceroboh. Setelah terus mendapat krtik karena abai tanggung jawab dalam mengelola hutan dan alam hayati seperti pembangunan ruas jalan di kawasan konservasi Leuseur dan Ulu Masen, Aceh juga terus melakukan deforestasi yang tidak terlindung oleh hukum. Seperti banjir besar yang terjadi di Aceh Tenggara tahun lalu ditengarai karena rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat penebangan pohon-pohon yang menjadi penyangga sungai. Lebih 745 ribu hektar lahan di sepanjang DAS Alas telah rusak dan 37 ribu hektar berada pada situasi sangat kritis (Serambi, 8/12/2018).

 

Daerah lain pun demikian pula. Yang paling menyedot perhatian pada hari-hari ini adalah penebangan pohon kota sepanjang Meunasah Baet hingga Lambaro di Aceh Besar. Penebangan pohon kota ini “hanya” menjadi indeksial dari deretan politik perusakan lingkungan yang terjadi di kabupaten yang termasuk tiga besar di Aceh ini.

 

Penulis sendiri pernah terlibat riset tentang pemetaan demokrasi di Aceh Besar, terlihat bahwa problem yang dialami bumi Teuku Panglima Polim ini bermuara pada buruknya tatakelola pemerintahan (bad governance) sehingga berdampak sendengnya pengelolaan ekologis. Pembalakan lingkungan tidak hanya terjadi di wilayah yang jauh dari pandangan seperti di Taman Hutan Raya Pocut Meurah yang kini sebagian telah beralih fungsi sebagai perkebunan kakao dan pisang dari sebelumnya hutan pinus yang menyejukkan, juga di wilayah-wilayah publik seperti pohon jalan. Setelah pohon jalan di sepanjang jalan Montasik – Samahani yang hilang akibat pelebaran jalan kini kanopi jalan sepanjang Meunasah Baet hingga simpang Lambaro hilang kerontang.

 

Pembegalan (bukan pemamprasan ranting dan daun secara selektif) membuat situasi menjadi panas, dekil, kacau-balau (karena ada pengalihan jalur kenderaan), dan berantakan. Segalanya tidak terlihat sebagai sebuah perencanaan pengelolaan pohon jalan dan taman kota secara benar. Lebih mirip aksi premanisme atas lingkungan. Tentu protes publik kalah cepat dengan aksi perusakan pohon kota yang melibatkan instansi pemerintah yang seharusnya melayani dan melindungi kepentingan publik.

 

Kontradiksi agama dan kebijakan

Semakin aneh bin ajaib karena perusakan lingkungan itu tidak dilihat sebagai pelanggaran etik dan hukum paling serius dari kacamata pemerintahan dan agama. Pemerintah Aceh Besar misalnya,  mengaku menggalakkan tatakelola pemerintahan berbasis Syariat Islam, malah melakukan pelanggaran Syariat Islam paling serius dalam pengelolaan lingkungan hidup.

 

Jika dikilas balik pada sejarah perang awal Islam misalnya, Nabi Muhammad SAW sangat melarang merusak bangunan, menebang pohon, dan meracuni air minum meskipun dianggap sebagai siasat perang. Bahkan dalam ekspedisi ke Syam, Khalifah Abubakar Ash-Siddiq kembali menyitir ayat Al Quran Surat Al Baqarah (11-12),”Jangan membuat kerusakan di muka bumi” dan berwasiat seperti Nabi untuk tidak menebang pohon kurma, membakar pohon, membunuh hewan ternak, dan merusak bangunan.

 

Apa yang dilakukan oleh Pemkab Aceh Besar ini malah bertentangan dengan filosofi hukum Islam atau Maqasid Syariah, bahwa setiap ijtihad pada pembangunan harus selalu memperhitungkan kemanfataan dan pelestarian alam (maslahah) dan menghindari katastrofi (mafsadah). Setiap ranting yang ditebang tanpa tujuan yang jelas adalah dosa. Bahkan dalam sebuah hadist riwayat Abu Daud disebutkan, “Barang siapa menebang pohon bidara yang menaungi Ibnu Sabil dan memperlakukan hewan ternak dengan zalim, maka Allah akan menuangkan air panas pada kepalanya di neraka”.

 

Ini tentu kabar yang paling horor bahwa pemerintahan yang mengaku menjalankan Syariat Islam melakukan kebijakan kontradiktif terkait dengan kebijakan perlindungan lingkungan. Meskipun demikian rasionalisasi pada upaya perlindungan lingkungan hayati harus terus dilakukan. Jika landasan agama tidak mempan dalam mempengaruhi kebijakan alam lestari, maka harus dicari raison d’etre pada normatif hukum.

 

UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi asas utama nasional bahkan ius cogens, bagi pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menjalankan program go green. Norma hukum tentang pelestarian lingkungan harus dikedepankan, karena irisannya kerap berbenturan dengan kebijakan perindustrian, pertambangan, pertanian, perikanan, perkebunan, hingga kehutanan sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam harus menjamin keadilan bagi generasi ke depan untuk mendapatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan ekosistem.

 

Jika pemerintah Aceh pernah menunjukkan sikap pembelaan atas kasus PT EMM yang mendapatkan respons luas, maka harusnya sikap itu konsisten pada seluruh isu lingkungan lainnya, tidak tebang pilih (Amrizal J. Prang, “Komitmen Pemerintah Aceh Menjaga Lingkungan”, Serambi, 23/4/2019). Sikap pemerintah akan diukur sebagai sikap adil atas isu HAM, karena kasus seperti penebangan pohon jalan sebenarnya menjadi wujud pelanggaran hak pengendara kenderaan dalam mendapatkan udara segar. Sikap yang sama juga melingkupi pada isu yang kini ramai di media sosial, yaitu menolak tambang di Tanah Gayo.

 

Perusakan lingkungan secara brutal menunjukkan pemerintah daerah telah gagal memenuhi janjinya untuk menjaga warganya dari keamanan, kenyamanan, dan keselamatan secara jangka panjang. Bahkan kalau boleh ditelusuri ada banyak kecurigaan atas kebijakan elite lokal memberikan “izin merusak lingkungan” sebagai kamuflase kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan publik luas. Omong kosong jika publik suka dengan kebijakan perusakan lingkungan meskipun ditempelkan lipstik sebagai pembangunan dan kesejahteraan.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Dewan Pakar NU Aceh.